Dea Anugrah
lahir (Pangkalpinang, 27 Juni 1991; umur 19 tahun) adalah sastrawan Indonesia. Penyair muda ini menghabiskan masa kecilnya di tanah kelahiran Pulau Bangka dan kini tinggal di Yogyakarta.Sejak tahun 2008 kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Dea menulis puisi, cerpen dan esai dalam Bahasa Indonesia.
Tulisan-tulisannya dipublikasikan di sejumlah media cetak, antara lain:
Ø Sinar Harapan; Bali Post; Jurnal Bogor; KR Bisnis; Minggu Pagi; Bali Bicara; Buletin Hysteria; Radar Tasikmalaya; SK Priangan. Serta beberapa antologi. Namun, secara pribadi lebih suka "bermain" di media cyber.
Karya :
- Penyair (itu) Bodoh (kumpulan puisi, 2009)
- Suara-Suara Nurani dan Kalbu (kumpulan puisi bersama, 2009)
- Sebilah Sayap Bidadari (kumpulan puisi bersama, 2010)
- Teka-teki tentang Tubuh dan Kematian (kumpulan puisi bersama, 2010)
Puisi-puisi Dea Anugrah
Sepasang Baling Baling
Abang tukang mainan
Lewat di depanku
Ia belumterlalu tua, mungkin sebaya ayahku
Wajahnya tampak lelah, berpeluh
Berdebu
Tapi senyumnya ramah
Sampai-sampai aku pun tahu dua giginya ompong
Ia menyapaku
Aku mengajaknya beristirahat sejenak
Sejenak saja
Jujur saja, aku tak tega melihatnya
Tapi ia menolak
Katanya : “anakku belum makan”
Kulihat arloji jam empat sore
Ah, aku iba
Kubeli sepasang baling baling darinya
Ia berterima kasih, lalu pergi, kembali menjaja dagangannya
Jadilah balin baling itu ku bawa dalam tasku
Tapi kemarin aku kehilangan sepasang baling baling kesayanganku
Lebih tepatnya kukasihkan ke orang lain
Seorang anak kecil
Ia meminta dariku
Saat kutanya untuk apa, ia tak menjawab
Sudalah kuberikan saja
Tapi aku penasaran juga, kuiti anak itu
Cukup jauh hingga sampai di komplek perkuburan yang dinamai “orang miskin orang pinggiran”
Ia mencari cari sebuah kubur
Diamdiam kuikuti terus
Hingga kulihat ia berhenti di samping sebuah kuburan sederhana
Yang agak jauh dari kuburan lainnya
Dekat situ ada baliho besar tertuliskan, “rakyat melarat, sampah masyarakat”
si anak tersenyum pada (kuburan itu)
sayup terdengar : “ayah, ini kubawakan sepasang baling
baling untukmu,moga kamu tak kesepian lagi.
Ah, aku sebaiknya pergi saja
Pulang ke tubuhku
Tubuh anak itu
Abang tukang mainan
Lewat di depanku
Ia belumterlalu tua, mungkin sebaya ayahku
Wajahnya tampak lelah, berpeluh
Berdebu
Tapi senyumnya ramah
Sampai-sampai aku pun tahu dua giginya ompong
Ia menyapaku
Aku mengajaknya beristirahat sejenak
Sejenak saja
Jujur saja, aku tak tega melihatnya
Tapi ia menolak
Katanya : “anakku belum makan”
Kulihat arloji jam empat sore
Ah, aku iba
Kubeli sepasang baling baling darinya
Ia berterima kasih, lalu pergi, kembali menjaja dagangannya
Jadilah balin baling itu ku bawa dalam tasku
Tapi kemarin aku kehilangan sepasang baling baling kesayanganku
Lebih tepatnya kukasihkan ke orang lain
Seorang anak kecil
Ia meminta dariku
Saat kutanya untuk apa, ia tak menjawab
Sudalah kuberikan saja
Tapi aku penasaran juga, kuiti anak itu
Cukup jauh hingga sampai di komplek perkuburan yang dinamai “orang miskin orang pinggiran”
Ia mencari cari sebuah kubur
Diamdiam kuikuti terus
Hingga kulihat ia berhenti di samping sebuah kuburan sederhana
Yang agak jauh dari kuburan lainnya
Dekat situ ada baliho besar tertuliskan, “rakyat melarat, sampah masyarakat”
si anak tersenyum pada (kuburan itu)
sayup terdengar : “ayah, ini kubawakan sepasang baling
baling untukmu,moga kamu tak kesepian lagi.
Ah, aku sebaiknya pergi saja
Pulang ke tubuhku
Tubuh anak itu
BOCAH BELANG
di dalam sebuah rumah beratap serabut hitam
berdinding lapuk dan berlantai lumpur
yang juga hitam
seorang bocah berkulit belang
yang wajahnya legam.
telanjang, dan menangis dengan kencang
seolah tak peduli
pada lalat-lalat yang mengerubungi
koreng di lengan, kaki serta pantatnya
yang mulai membusuk
menebarkan bau menusuk
pengundang lalat-lalat datang
o bocah itu menjerit lirih
mengantarkan suaranya pergi
meninggalkan dirinya sendiri
di dalam gubuk nestapa
yang reyot dan bakal roboh di atas mayat keluarganya
namun entah di hari keberapa
suatu pagi
bocah itu tibatiba berhenti menangis
tapi juga tak bergembira
ia melamun
membuang jauh tatapannya ke luar jendela
membayangkan ibu memanggil namanya seperti biasa
seraya mengatakan kalau semua ini tak nyata
kalau semuanya baik-baik saja
“ya, semuanya baik-baik saja sayang! seperti biasa!”,
suara seseorang bergema
bocah itu kaget
ia melihat sekeliling
namun tak ada siapa-siapa, selain tubuh ayah-ibu beserta saudara-saudaranya
yang telah membiru
dan genangan darah yang berkerak
mengotori dinding lapuk yang belum lama di cat ayahnya
barang-barang berserakan
vas bunga pecah, foto keluarga remuk kacanya, mainan yang berhamburan, pisau…
pisau yang penuh bercak darah yang telah mengering
digenggamnya pisau itu
ah, sekarang ia ingat semuanya
seberkas sinar matahari pagi yang masuk melalui celah-celah atap menerangi pondok itu seperti biasa
bocah itu tersenyum
pisau itu tersenyum
mayat-mayat itu tersenyum
semua yang ada di rumah itu tersenyum
/2/
penonton dan pemain bertepuk tangan
tertawa, berkekehan senang.
tetapi dramanya belum usai. drama ini belum usai. sayang.
aku menangis. airmataku tertawa.
di dalam sebuah rumah beratap serabut hitam
berdinding lapuk dan berlantai lumpur
yang juga hitam
seorang bocah berkulit belang
yang wajahnya legam.
telanjang, dan menangis dengan kencang
seolah tak peduli
pada lalat-lalat yang mengerubungi
koreng di lengan, kaki serta pantatnya
yang mulai membusuk
menebarkan bau menusuk
pengundang lalat-lalat datang
o bocah itu menjerit lirih
mengantarkan suaranya pergi
meninggalkan dirinya sendiri
di dalam gubuk nestapa
yang reyot dan bakal roboh di atas mayat keluarganya
namun entah di hari keberapa
suatu pagi
bocah itu tibatiba berhenti menangis
tapi juga tak bergembira
ia melamun
membuang jauh tatapannya ke luar jendela
membayangkan ibu memanggil namanya seperti biasa
seraya mengatakan kalau semua ini tak nyata
kalau semuanya baik-baik saja
“ya, semuanya baik-baik saja sayang! seperti biasa!”,
suara seseorang bergema
bocah itu kaget
ia melihat sekeliling
namun tak ada siapa-siapa, selain tubuh ayah-ibu beserta saudara-saudaranya
yang telah membiru
dan genangan darah yang berkerak
mengotori dinding lapuk yang belum lama di cat ayahnya
barang-barang berserakan
vas bunga pecah, foto keluarga remuk kacanya, mainan yang berhamburan, pisau…
pisau yang penuh bercak darah yang telah mengering
digenggamnya pisau itu
ah, sekarang ia ingat semuanya
seberkas sinar matahari pagi yang masuk melalui celah-celah atap menerangi pondok itu seperti biasa
bocah itu tersenyum
pisau itu tersenyum
mayat-mayat itu tersenyum
semua yang ada di rumah itu tersenyum
/2/
penonton dan pemain bertepuk tangan
tertawa, berkekehan senang.
tetapi dramanya belum usai. drama ini belum usai. sayang.
aku menangis. airmataku tertawa.
………….Jogja, Mei 2009
SUATU PAGI YANG MENGANTARKU KEMBALI
kabut yang terangkat
menyisa genangan
pada punggung jalan
kawanan merpati ngungun
di atas kabel kabel telepon
begitu mirip
begitu persis tahun tahun lampau
gadis gadis berseragam
pengayuh sepeda
mengingatkanku akan
bekunya kursi sekolah
dan perasaan perasaan
yang tak sempat
yang tak kuasa
kuucapkan pada fiska
tanpa pernah kuziarahi
mekarlah buah dadanya
bagi sepasang akik
yang lebih keramat
dari segenap puisiku!
matahari yang terangkat
mengeringkan sisa sisa embun
pada punggung jalan
dan belumlah genap kujejaki
bengkolan di depan
hilang sudah penyesalan
atas masa silam
yang disesaki
aroma kegagalan.
KALAU KAU INGIN MENGERTI
kalau kau ingin mengerti
bagaimana aku mencintaimu
berpalinglah
dari daunan gugur
dan gerimis yang menari
sekadar
dalam sajak sajak sapardi
lupakanlah juga
birahi tardji
yang sia sia
pada kucingnya
kalau kau ingin mengerti.
aku mencintaimu bukan dengan
sepotong bulan yang menuruni
jendela
(dan lenyap) saat kau melamunkan
treva jakarta.
tapi bayangkanlah
bulan itu
gerimis itu
dan birahi itu
semuanya
tersangkut di rambutku
waktu aku datang padamu
sementara sepasang paloma
hampir sempurna
memerangkap kita
dalam nyanyiannya.
dan satu hari lagi,
kalau kau telah mengerti
bagaimana aku mencintaimu
kau akan mengerti pula
tiada yang lebih menyedihkan
dalam hidupmu
daripada kehilangan cintaku itu.
sumber biografi :DEA ANUGRAH
0 komentar:
Posting Komentar